hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta, sekolah rendah dan tahu ada yang tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah Chairil Anwar, si binatang jalang yang ekstensialis, sebelumnya keras berseru akan 'hidup seribu tahun lagi'. Enam tahun setelahnya dalam kondisi rapuh, dia menuliskan puisi yang dikutip di atas; menyerah kalah pada suratan nasib. Inilah gambaran betapa bahwa hidup tak dapat dirancang, diukur maupun diprediksi. Demikian pula Soeharto. Pada saatnya, siapa yang mengira 'buldozer' Orde Baru itu akan jatuh dan menjadi sedemikian nestapa dan tak pupus dirudung malang di masa rentanya. Sakit-sakitan, dikejar-kejar kasus hukum serta dipaksa keadaan untuk menyaksikan berbagai kasus yang menimpa keluarganya. Soeharto kini sudah payah. Bahkan menjelang usianya yang ke-85 dia harus rela kehilangan 40 cm ususnya yang dipotong oleh tim dokter yang ingin menyelamatkan nyawanya. Beban yang tentunya tidak mudah bagi Soeharto untuk menjalaninya, apalagi dia kini telah sendiri setelah ditinggal Siti Hartinah, istri yang banyak menyemati hidupnya semenjak muda. Siti Hartinah yang terkenal dengan panggilan Ibu Tien Soeharto meninggal dunia mendadak pada tahun 1996, dimakamkan di Astana Giribangun, sebuah pemakaman keluarga yang dipersiapkan sendiri oleh Soeharto dan Ibu Tien. Kata astana berarti makam. Mangadeg di Gunung LawuKompleks Astana Giribangun yang megah dan luas berada di lereng barat Gunung Lawu. Tepatnya terletak di Desa Karang Bangun, Matesih, Karanganyar, sekitar 40 kilometer arah timur kota Solo. Yang sempat diketahui publik, terakhir kali Soeharto ziarah ke makam tersebut adalah menjelang bulan puasa akhir tahun lalu bersama sejumlah anak dan pengawalnya. Makam itu dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Istana Mangkunegaran, salah satu pecahan dinasti Mataram. Jika Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, Giribangun pada 666 meter dpl. Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan; untuk tetap menghormat para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto mengaku keturunan Mangkunegoro III. Bahkan Giribangun disebut sebagai makam yang dikhususkan untuk keluarga Mangkunegaran yang keduabelas atau yang paling akhir. Kompleks makam ini mulai dibangun pada tahun 1974 dan diresmikan penggunaannya para tahun 1976. Peresmian itu ditandai dengan pemindahan abu jenazah Soemaharjomo (ayahanda Tien Soharto) dan Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo. Cadangan untuk SoehartoMakam yang luas itu terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya adalah bagian utama yang disebut Cungkup Argosari yang berada di dalam ruangan tengah seluas 81 meter persegi dengan dilindungi cungkup berupa rumah bentuk joglo gaya Surakarta beratap sirap. Dinding rumah terbuat dari kayu berukir gaya Surakarta pula. Di ruangan ini hanya direncanakan untuk lima makam. Saat ini paling barat adalah makam Siti Hartini, di tengah terdapat makam pasangan Soemarharjomo (ayah dan ibu Tien) dan paling timur adalah makam Ibu Tien. Tepat di sebelah barat makam Ibu Tien terdapat sebuah tempat yang disebut sebagai "cadangan", yang nantinya diperuntukkan bagi Pak Harto. Masih di bagian Argosari, tepatnya di emperan cungkup seluas 243 meter persegi, terdapat tempat yang direncanakan untuk makam 12 badan. Rencananya di tempat inilah anak-anak dan para menantu Soeharto dimakamkan. Namun ketika sekarang ada anak Soeharto yang memilih hidup sendiri setelah mengalami kegagalan berkeluarga, kurang jelas siapakah nanti yang harus memenuhi areal untuk 12 badan itu. Di selasar cungkup seluas 405 meter persegi terdapat areal untuk 48 badan. Yang berhak dimakamkan di tempat itu adalah penasihat, pengurus harian serta anggota pengurus Yayasan Mangadeg yang mengelola pemakaman tersebut. Termasuk yang berhak dimakamkan di tempat itu adalah pengusaha Sukamdani Sahid Gitosardjono beserta istri. Bagian yang berada di luar lokasi utama adalah Cungkup Argokembang seluas 567 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 116 badan. Yang berhak dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang dianggap berjasa kepada yayasan yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan di astana tersebut. Paling luar adalah Cungkup Argotuwuh seluas 729 meter persegi. Tempat ini tersedia tempat bagi 156 badan. Seperti halnya Cungkup Argokembang, yang berhak dimakamkan di lokasi itu adalah para pengurus Yayasan Mangadeg ataupun keluarga besar Mangkunegaran lainnya yang mengajukan permohonan. Pintu utama Astana Giribangun terletak di sisi utara. Sisi selatan berbatasan langsung di jurang yang di bawahnya mengalir Kali Samin yang berkelok-kelok indah dipandang dari areal makam. Terdapat pula pintu di bagian timur kompleks makam yang langsung mengakses ke Astana Mangadeg. Selain bangunan untuk pemakaman, terdapat sembilan bangunan pendukung lainnya. Di antaranya adalah masjid, rumah tempat peristirahatan bagi keluarga Soeharto jika berziarah, kamar mandi bagi peziarah utama, tandon air, gapura utama, dua tempat tunggu atau tempat istirahat bagi para wisatawan, rumah jaga dan tempat parkir khusus bagi mobil keluarga. Di bagian bawah, terdapat ruang parkir yang sangat luas. Di masa Soeharto berkuasa, di arel ini terdapat puluhan kios pedagang yang berjualan souvenir maupun makanan untuk melayani peziarah dan wisatawan. Namun semenjak kini tempat itu menjadi sangat sepi, seiring sepinya pendatang dari kalangan umum. Petuah untuk Ksatria UtamaDi sudut barat daya bangunan megah Cungkup Argosari, terpampang sebuah tulisan yang dipetik dari Serat Wedatama, sebuah karya sastra Jawa klasik karya Mangkunegoro IV. Bunyi kutipan dalam tembang pucung itu adalah; lila lamun kelangan nora gegetun trimah yen ketaman saserik sameng dumadi tri legawa nalangsa srahing bathara. (ikhlas, jika kehilangan tiada 'kan menyesal menerima dengan lapang jika mendapatkan kebencian dari sesama legawa dan menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa) Bait itu adalah petikan dari sebuah petuah Mangkunegoro IV kepada anak cucunya jika ingin menjadi seorang ksatria utama. Ksatria pilihan harus pantang menghindar dari kewajibannya, menjalankan darma baktinya dan siap menerima resiko apa pun sebagai konsekuensi sebuah pilihan. Tidak jelas juga, apakah diamnya Soeharto terhadap segala cercaan dan tudingan setidaknya selama delapan tahun terakhir ini adalah bagian dari penerimannya sebagai ksatria seperti yang dianjurkan leluhur istrinya. Namun yang jelas hingga kini dia belum pernah melakukan reaksi terbuka. Dia tetap memilih diam ketika nasib hukumnya terus menggantung tanpa kejelasan. Dia tetap memilih diam di saat pihak-pihak yang berbeda pandangan beradu pendapat mengenai solusi yang elegan untuk kasus hukum yang mendera. Ikhlas, jika kehilangan tiada 'kan menyesal. Dia memang, setidaknya secara dejure, telah kehilangan kekuasaan sejak 1998. Mestinya dia telah mematuhi petuah Mangkunegoro IV agar ikhlas jika kehilangan apa pun, karena saat itu mekanisme yang dia pilih adalah mengundurkan diri. Menerima dengan lapang jika mendapatkan kebencian dari sesama. Dengan tetap diam menyungging senyum khasnya, mestinya orang akan meraba bahwa dia telah lepang dada dan memposisikan dirinya sebagai sasaran tembak bagi para pengkritiknya. Satu hal yang hingga detik ini masih diperdebatkan adalah apakah dia akan membawa kasus hukum yang menimpanya ke ruang pengadilan atau akan dibawanya hingga nanti istirahat tenang menyusul istrinya di Giribangun, rumahnya yang akan datang.(WIJAYA KUSUMA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar